Diposting oleh: Windi Ramadhan | Diperbaharui: 01 Maret 2017
Industri kelapa sawit di dunia, terutama CPO (crude palm oil) terus menunjukkan tren positif. Permintaan minyak kelapa sawit kian meningkat dari tahun ke tahun. Posisi strategis ini semakin terasa sejak tahun 2005. Di tahun itu, minyak kelapa sawit telah menjadi minyak nabati dengan produksi terbesar (24%), menggeser minyak kedelai (23%) yang sebelumnya menjadi raja minyak nabati dunia. Dan kini, menurut data Oil World Annual 2009-2010, perbandingan tersebut semakin meningkat: dari total 168,8 juta ton minyak nabati, produksi minyak sawit mencapai 27,7%, sementara minyak kedelai sebesar 22,4%.
Data ini menunjukkan bahwa kelapa sawit jauh lebih efisien dan produktif. Sebab, itu artinya: dalam 1 hektar kebun kelapa sawit, dihasilkan rata-rata 3,6 ton minyak. Sementara itu, 1 hektar kebun kedelai hanya sanggup menghasilkan rata-rata 0,39 ton minyak.
Efisiensi ini sejatinya tidaklah mengejutkan. Efisiensi lahan ini dimungkinkan lantaran kelapa sawit adalah tanaman tahunan yang berbuah sepanjang tahun, sedangkan kedelai merupakan tanaman musiman.
Di tengah tren yang demikian positif, Indonesia patut berbangga hati. Negeri ini adalah produsen CPO terbesar di dunia. Bersama dengan Malaysia, Indonesia menguasai hampir 90% produksi minyak sawit dunia. Sejak tahun 2006 Indonesia bahkan telah menjadi produsen minyak sawit terbesar di dunia, mencapai 13 juta ton lebih.
Perkembangan ini sangat signifikan. Pada 1995, produksi CPO Indonesia baru 5 juta ton per tahun. Dan pada tahun 2002, produksi baru sebesar 11 juta ton.
Peningkatan produksi minyak kelapa sawit ini, tak bisa dilepaskan dari dibukanya lahan-lahan baru untuk memasok permintaan pasar. Sejak dikembangkannya tanaman kelapa sawit di Indonesia pada tahun 60-an, luas areal perkebunan kelapa sawit mengalami perkembangan yang sangat pesat. Bila pada tahun 1967 Indonesia hanya memiliki areal perkebunan kelapa sawit seluas 105.808 hektar, pada tahun 1997, luas itu telah membengkak menjadi 2,5 juta hektar. Pertumbuhan yang pesat terjadi kurun 1990-1997, ketika penambahan luas areal tanam mencapai rata-rata 200.000 hektar setiap tahunnya, yang sebagian besar terjadi pada perkebunan swasta.
Tumbuhnya permintaan global saat ini, mendorong perusahaan kelapa sawit di Indonesia kian berlomba-lomba meluaskan lahan. Bila ditotal, Indonesia kini memiliki 7,5 juta hektar perkebunan kelapa sawit (Deptan -2009), dengan 40% diantaranya milik rakyat (Ditjenbun, 2009). Luas areal sawit yang terus bertambah ini pastinya akan kian mempengaruhi jumlah produksi dari tahun ke tahun.
Bagi Indonesia, peran kelapa sawit sungguhlah penting. Harus diakui, industri kelapa sawit nasional telah menyejahterakan jutaan rakyat Indonesia. Fakta juga menunjukkan bahwa minyak sawit adalah satu-satunya komoditi non migas Indonesia yang menempati posisi strategis dalam percaturan minyak nabati dunia, mengingat Indonesia adalah penghasil terbesar komoditas ini.
Sayangnya, di tengah derap kemajuan industri, pasokan tenaga-tenaga terampil untuk mengelola kebun, pabrik, serta logistik kelapa sawit, bisa dikatakan masih kurang. Konsentrasi membuka lahan baru, tidak diimbangi sumber daya manusia yang memadai. Hingga saat ini, bahkan banyak perusahaan kelapa sawit di Indonesia yang justru menggunakan tenaga asing ketimbang kekuatan bangsa sendiri.
Sebagai produsen kelapa sawit terbesar di dunia, sungguh mengherankan jika Indonesia justru kekurangan ahli dan tenaga trampil di kelapa sawit. Padahal, peluang yang lahir dari industri kelapa sawit, baik berbentuk CPO ataupun produk olahannya, sangatlah besar.
Berangkat dari keprihatinan atas situasi yang ada, sejumlah pengusaha dan praktisi industri kelapa sawit, yakni Tjiungwanara Njoman, Ir. H. M. Badrun, Kol. Art. (Purn.) R. B. Iskandar Kristantoro, beserta sejumlah pengusaha serta praktisi sumber daya manusia terdorong untuk mendirikan sebuah politeknik kelapa sawit. Maka berdirilah Politeknik Citra Widya Edukasi (CWE).
Menitikberatkan pada praktek kerja nyata di kebun dan pabrik secara langsung, Politeknik CWE adalah sekolah yang mendidik dan melatih siswa untuk menjadi tenaga kerja kelapa sawit yang andal untuk memasok kebutuhan industri kelapa sawit nasional. Politeknik CWE adalah solusi untuk menambal gap antara kebutuhan tenaga-tenaga terampil dengan pertumbuhan industri kelapa sawit. Dan Politeknik CWE bukan semata hadir tanpa memberi output yang bermutu. Sebagai politeknik pertama di Indonesia yang memfokuskan diri di pendidikan tentang kelapa sawit, Politeknik CWE adalah pilihan bagi mereka yang ingin terjun ke industri kelapa sawit yang kian berkembang ini. Mengapa?
Politeknik CWE memiliki sejumlah keunggulan yang bisa menjadi pertimbangan, terutama bagi calon-calon mahasiswa yang tertarik terjun ke industri kelapa sawit:
1. 100% Diserap Industri!
Di tengah problem pengangguran intelektual, keinginan orang tua dan mahasiswa adalah mendapatkan sekolah yang selain mendidik serta memberikan ketrampilan, juga dapat menyalurkan siswa ke industri yang sesuai dengan ilmu yang dituntutnya. Mendapatkan sekolah yang dapat memberikan jalan ke lapangan kerja selepas lulus kuliah.
Politeknik CWE adalah sekolah yang bisa memenuhi harapan tersebut.
Hampir 100% lulusannya diserap industri kelapa sawit nasional. Hal tersebut tidak terlepas dari sistem pendidikan dan kurikulum yang dikembangkannya, yakni berbasis link & match dengan pelaku industri kelapa sawit, baik perusahaan maupun asosiasi pengusaha kelapa sawit. Juga adanya kerjasama dalam pemberian beasiswa oleh perusahaan kelapa sawit pada mahasiswa Politeknik CWE.
Terjalinnya hubungan yang erat antara Politeknik CWE dengan kalangan industri ini, membuat siswa tersalurkan ke perusahaan-perusahaan yang membutuhkan tenaga-tenaga terampil. Pelajaran yang diperoleh siswa selama menempuh kuliah di Politeknik CWE juga turut mendukung situasi ini. Sebab, ilmu yang dipelajari, membuat mereka tidak mengalami kebingunan dan kecanggungan saat terjun ke dunia kerja di industri kelapa sawit.
2. Studi yang Fokus
Setiap sekolah atau perguruan tinggi, memiliki pilihan untuk membuat serta menentukan kurikulum apa yang bermanfaat bagi mahasiswanya. Dan ini akan kembali pada tujuan berdirinya Perguruan Tinggi itu sendiri. Sebab, setiap Perguruan Tinggi berhak memilih ke arah mana siswa didiknya akan diarahkan.
Politeknik CWE berkomitmen menghasilkan lulusan yang terampil untuk mengembangkan industri kelapa sawit nasional. Dengan konsep belajar selama 3 tahun, anak didik dibekali pemahaman seluk beluk kelapa sawit serta industri kelapa sawit yang sesungguhnya. Mereka akan memahami mulai dari anatomi sampai ke fisiologi pertumbuhan kelapa sawit, pengolahannya, juga seluk beluk di sisi logistiknya.
Studi yang fokus semacam ini membuat siswa didik di Politeknik CWE sangat kompeten di industri kelapa sawit. Dan dengan pemahaman seperti ini, mahasiswa akan siap kerja di industri kelapa sawit. Mereka akan menjadi pilihan perusahaan kelapa sawit saat membutuhkan tenaga kerja, dibanding siswa yang harus belajar lagi dari nol tentang kelapa sawit.
3. Kurikulum Berbasis Kompetensi
Berdiri sebagai sekolah yang mengkhususkan diri pada industri kelapa sawit, Politeknik CWE menyadari harapan orang tua, siswa, juga kalangan industri. Orang tua menginginkan anaknya menjadi terampil dan bisa langsung masuk kerja begitu selesai kuliah. Begitu pula dengan mahasiswa yang bersangkutan. Mereka ingin ilmu yang ditimbanya semasa kuliah, bisa langsung dipraktikkan di dunia kerja, tidak menunggu waktu yang lama.
Hal yang sama juga berlaku untuk perusahaan kelapa sawit. Mereka ingin mendapat pasokan sumber daya manusia yang bisa langsung beradaptasi dengan dunia kerja, tidak lagi mesti diajari yang tentunya itu memakan waktu, tenaga, serta biaya.
Menyadari harapan yang besar di kalangan stakeholders-nya, Politeknik CWE akhirnya melihat bahwa semuanya akan berpulang pada kurikulum. Hebat tidaknya siswa didik, akan bergantung pada kurikulum yang mereka pelajari semasa kuliah.
Karena hal tersebut, kurikulum Politeknik CWE dibuat dengan mengacu pada standar industri kelapa sawit nasional, serta selalu diperbarui dengan mengikuti perkembangan mutakhir. Kemudian, menyadari harapan stakeholders, terutama perusahaan kelapa sawit yang menginginkan siswa yang siap pakai dan siap terjun ke industri, maka kurikulumnya dibuat dengan sentuhan praktik di lapangan, bukan semata penguasaan teori yang berbasis metode klasikal. Kurikulum yang dikembangkan berbasis pada pendekatan know how dan know-why.
Dengan sentuhan kurikulum berbasis kompetensi seperti itu, maka siswa pun menjadi paham apa sesungguhnya kelapa sawit serta industri kelapa sawit itu sendiri. Mereka jadi memahami, mulai dari sisi hulu hingga hilirnya, dari A ke Z industri kelapa sawit.
4. Pengajar Berkualitas
Kurikulum yang berbasis industri, yang bersifat link & match dengan industri kelapa sawit nasional, pada akhirnya hanya akan menjadi silabus yang indah di atas kertas. Sebuah catatan tentang apa yang akan dipelajari selama kuliah.
Pada akhirnya, kurikulum akan bergantung pada para tenaga pengajar yang akan mengimplementasikannya dalam proses belajar-mengajar. Sebagus apapun kurikulum, tujuan tidak akan tercapai bila tenaga pengajarnya serta metode mengajarnya tidak berkualitas.
Menyadari pentingnya man behind the gun, membuat Politeknik CWE sangat selektif memilih serta menyediakan tenaga pengajar. Pengajar CWE adalah orang-orang terpilih, berkualitas tinggi, dan multidimensi karena datang dari kalangan akademisi serta praktisi industri kelapa sawit nasional, yakni dari perusahaan kelapa sawit nasional ternama seperti SMART, Astra Agro Lestari. Mereka dijaring selain karena minatnya, terutama juga disebabkan kompetensi serta skill-nya, baik di dunia akademis maupun industri kelapa sawit. Pengetahuan, ilmu, dan wawasan yang mereka miliki, mempermudah penerapan kurikulum yang telah dibuat agar dapat diserap siswa.
5. Biaya dan Beasiswa
Banyak pilihan untuk menuntut ilmu. Tapi seringkali calon siswa terbentur pada biaya yang tidak terjangkau sehingga bagi mereka yang memaksakan diri, akhirnya seringkali kuliahnya tidak maksimal, atau bahkan selesai sebelum waktunya (Drop Out) lantaran ketiadaan biaya.
Sejak didirikan, Politeknik CWE bukan hanya ingin mencetak tenaga-tenaga andal di industri kelapa sawit, tapi juga ingin berkontribusi dengan mendirikan sekolah yang terjangkau masyarakat kebanyakan. Sebab, Politeknik CWE menyadari bahwa tidak semua calon mahasiswa berasal dari kalangan berada yang mampu membiayai kuliahnya setinggi mungkin.
Atas pertimbangan di atas, sejak berdirinya, Politeknik CWE menetapkan biaya yang relatif terjangkau untuk ukuran Politeknik, yakni Rp 30 juta untuk masa kuliah selama 3 tahun. Bukan hanya itu kemudahan yang diberikan. Mahasiswa CWE juga mendapat fasilitas beasiswa, baik yang disediakan oleh sekolah, maupun perusahaan kelapa sawit nasional yang menjalin kemitraan link & match dengan CWE.
Dengan keringanan seperti ini, Politeknik CWE berharap mahasiswa dari semua lapisan masyarakat dapat belajar di sekolah ini, menuntut ilmu, membangun industri kelapa sawit nasional, dan tentunya merentang masa depannya masing-masing agar lebih sejahtera.