Diposting oleh: Admin | Diperbaharui: 05 November 2020
SEJARAH
POLITEKNIK KELAPA SAWIT CITRA WIDYA EDUKASI
Latar Belakang berdirinya Politeknik Kelapa Sawit Citra Widya Edukasi tidak terlepas dari perkembangan industri kelapa sawit dari waktu ke waktu. Pada waktu itu, Industri kelapa sawit di dunia, terutama CPO (crude palm oil) terus menunjukkan tren positif. Permintaan minyak kelapa sawit meningkat dari tahun ke tahun. Posisi strategis ini semakin terasa sejak tahun 2005. Di tahun itu, minyak kelapa sawit telah menjadi minyak nabati dengan produksi terbesar (24%), menggeser minyak kedelai (23%) yang sebelumnya menjadi raja minyak nabati dunia. Dan kini, menurut data Oil World Annual 2009-2010, perbandingan tersebut semakin meningkat: dari total 168,8 juta ton minyak nabati, produksi minyak sawit mencapai 27,7%, sementara minyak kedelai sebesar 22,4%.
Data ini menunjukkan bahwa kelapa sawit jauh lebih efisien dan produktif. Sebab, itu artinya: dalam 1 hektar kebun kelapa sawit, dihasilkan rata-rata 3,6 ton minyak. Sementara itu, 1 hektar kebun kedelai hanya sanggup menghasilkan rata-rata 0,39 ton minyak.
Efisiensi ini sejatinya tidaklah mengejutkan. Efisiensi lahan ini dimungkinkan lantaran kelapa sawit adalah tanaman tahunan yang berbuah sepanjang tahun, sedangkan kedelai merupakan tanaman musiman.
Di tengah tren yang demikian positif, Indonesia patut berbangga hati. Negeri ini adalah produsen CPO terbesar di dunia. Bersama dengan Malaysia, Indonesia menguasai hampir 90% produksi minyak sawit dunia. Sejak tahun 2006 Indonesia bahkan telah menjadi produsen minyak sawit terbesar di dunia, mencapai 13 juta ton lebih.
Perkembangan ini sangat signifikan. Pada 1995, produksi CPO Indonesia baru 5 juta ton per tahun. Dan pada tahun 2002, produksi baru sebesar 11 juta ton.
Peningkatan produksi minyak kelapa sawit ini, tak bisa dilepaskan dari dibukanya lahan-lahan baru untuk memasok permintaan pasar. Sejak dikembangkannya tanaman kelapa sawit di Indonesia pada tahun 60-an, luas areal perkebunan kelapa sawit mengalami perkembangan yang sangat pesat. Bila pada tahun 1967 Indonesia hanya memiliki areal perkebunan kelapa sawit seluas 105.808 hektar, pada tahun 1997, luas itu telah membengkak menjadi 2,5 juta hektar. Pertumbuhan
yang pesat terjadi kurun 1990-1997, ketika penambahan luas areal tanam mencapai rata-rata 200.000 hektar setiap tahunnya, yang sebagian besar terjadi pada perkebunan swasta.
Tumbuhnya permintaan global saat ini, mendorong perusahaan kelapa sawit di Indonesia kian berlomba-lomba meluaskan lahan. Bila ditotal, Indonesia kini memiliki 7,5 juta hektar perkebunan kelapa sawit (Deptan -2009), dengan 40% diantaranya milik rakyat (Ditjenbun, 2009). Luas areal sawit yang terus bertambah ini pastinya akan kian mempengaruhi jumlah produksi dari tahun ke tahun.
Bagi Indonesia, peran kelapa sawit sungguhlah penting. Harus diakui, industri kelapa sawit nasional telah menyejahterakan jutaan rakyat Indonesia. Fakta juga menunjukkan bahwa minyak sawit adalah satu-satunya komoditi non migas Indonesia yang menempati posisi strategis dalam percaturan minyak nabati dunia, mengingat Indonesia adalah penghasil terbesar komoditas ini.
Sayangnya, di tengah derap kemajuan industri, pasokan tenaga-tenaga terampil untuk mengelola kebun, pabrik, serta logistik kelapa sawit, bisa dikatakan masih kurang. Konsentrasi membuka lahan baru, tidak diimbangi sumber daya manusia yang memadai. Hingga saat ini, bahkan banyak perusahaan kelapa sawit di Indonesia yang justru menggunakan tenaga asing ketimbang kekuatan bangsa sendiri.
Sebagai produsen kelapa sawit terbesar di dunia, sungguh mengherankan jika Indonesia justru kekurangan ahli dan tenaga trampil di bidang kelapa sawit. Padahal, peluang yang lahir dari industri kelapa sawit, baik berbentuk CPO ataupun produk olahannya, sangatlah besar. Industri perkebunan dan pengolahan kelapa sawit memerlukan tenaga yang terdidik dan terampil dalam memenuhi kebutuhan CPO dunia. Yang diperlukan oleh Industri kelapa sawit saat ini dan masa yang akan datang adalah tenaga kerja yang mempunyai keahlian praktis, yang dapat mengelola potensi tersebut dengan baik dan juga bisa mengawasi mutu dari produksi minyak sawit tersebut sehingga bisa bersaing di pasar dunia.
Berangkat dari keprihatinan atas situasi yang ada, sejumlah pengusaha dan praktisi industri kelapa sawit, yakni Tjiungwanara Njoman, Ir. H. M. Badrun, Kol. Art. (Purn.) R. B. Iskandar Kristantoro, beserta sejumlah pengusaha serta praktisi sumber daya manusia terdorong untuk mendirikan sebuah institusi pendidikan yang berorientasi pada bidang kelapa sawit. Kemudian berdirilah Politeknik Kelapa Sawit Citra Widya Edukasi (PKS CWE).
Pendirian pendidikan politeknik ini dititikberatkan pada kegiatan praktek lapangan baik di kebun, laboratorium atau bengkel serta terfokus sesuai dengan kompetensi masing-masing program studi. Dengan sistem seperti ini, diharapkan materi yang disampaikan di kelas, laboratorium maupun di bengkel dapat diterapkan langsung pada dunia kerja secara nyata. Oleh Karena itu kebutuhan akan adanya sebuah Politeknik Kelapa Sawit diperlukan untuk menghasilkan sumber daya manusia yang berkualitas.
Pada akhirnya, PKS CWE diharapkan akan memberikan manfaat bagi dunia industri pengolahan kelapa sawit, sekaligus memberikan jawaban terhadap permasalahan mengenai sumber daya manusia. Eksistensi dari lembaga pendidikan, yang terbukti menghasilkan sumber daya manusia yang mampu menjawab tantangan dan kebutuhan yang ada, juga merupakan kebanggaan tersendiri bagi masyarakat industri pengolahan kelapa sawit dan CPO.